Spring in Aussie
Satu per satu daun-daun jatuh. Musim kemarau di Malang membuatku selalu merasa kehausan dan dingin. Soalnya musim kemarau di Malang kering dan dingin. Aku kehausan mungkin selalu menghirup debu-debu yang berterbangan lebih mudah sekarang. Daun-daun kering yang jatuh tadi akhirnya terinjak oleh kakiku saat masuk ke ruang kelas, padahal aku sudah berjalan dengan santai, g ngaruh sih. Aku selalu memilih tempat duduk acak, tapi kebanyakan di barisan tengah. Menurutku deretan itu yang teraman karena terlindung dari pandangan dosen yang sok killer dan dapat memandangi XXXX, yang biasanya duduk di deretan depan.
Pelajaran reproduksi ikan kali ini sangat membosankan. Aku tidak dapat dengan jelas mengingat fungsi atau kelenjar dari hormon-hormon reproduksi berasal. Bagiku semua sama saja dalam bahasa ilmiahnya. Hanya ditambah huruf ‘’H’’ dan semuanya beres, maksudku seperti GtH dan GsH atau dengan FsH juga LtH. Bagiku semua sama, kumpulan protein yang kompleks hingga bisa merumitkan pikiranku untuk memahaminya.
Belum lagi kuliah tambahan biologi kimia di sore ini. Sudah sungguh berat, cape, dan ngantuk di tambah menempatkan atom C di rumus ikatan yang seperti jalan buntu yang melingkar. Dan aku selalu salah walau hanya untuk menambahkan satu strip tanda ikatannya. Tapi aku merasa tidak sendiri sore ini, karena ada XXXX.
Aku lebih suka untuk bagian praktikum “kunjung-mengunjungi”. Biasanya praktikum ini dilakukan pada akhir bulan. Tugas kita hanya datang, duduk rapi, dan pulang lalu membuat laporan. Kita sering berkunjung ke balai-balai dinas perikanan. Dan bagian yang menyenangkan bagiku adalah ketika di dalam bis ketika sepanjang perjalanan dan berfoto-foto di lapangannya. Bagian lainnya adalah aku senang berpura-pura tertarik dan memberikan pertanyaan berbobot seberat mungkin kepada pihak balai yang telah memberikan penjelasan panjang lebar. Sebenarnya alasanku untuk berpura-pura tertarik pada uraian panjang dan membosankan tadi adalah XXXX. Dia terlihat antusias, maka aku pun harus, maka jadilah aku yang berpura-pura antusias.
Ya, dia adalah semua alasan mengapa aku duduk di tengah, mengangkat tangan wat bertanya, menjawab pertanyaan walau hanya mendekati benar, dan membaguskan tulisan tangan ku di lembar laporan praktikumku, jaga-jaga siapa tahu XXXX ingin meminjamnya.
Aku ingin terlihat kalau aku adalah saingannya. Walau aku payah dalam hal ingatan, aku terus mencoba hingga hafal tiap kata-kata di buku teks dan sedikit lupa saat harus menuliskannya di lembar jawaban karena aku mengantuk. Tapi tiap hasil nilai ku jauh di bawah dia. Bagiku, aku sangat menikmati prosesnya, bukan hasilnya. Bagiku hafalan-hafalan tidak terlalu penting karena dapat di cari kembali di dalam buku teks kalau kita lupa. Yang terpenting adalah kita dapat memahami konsepnya.
Lepas dari itu semua, kami adalah sahabat dekat. Sampai dekatnya ada gosip yang santer terdengar kalau kami sebenarnya sudah jadian. Padahal tidak. Yang ada kami hanya saling mengisi hari-hari di kota asing bagi kami ini sebagai sahabat. Aku sering main ke kosannya walau hanya ingin mengecek apa dia baik-baik saja karena di paginya aku melihat dia pucat. Kadang mengobrol apa saja sampai malam, hingga satpam mesti mengingatkan ku agar cabut dari kosannya. Kami juga sering “missed call” untuk minta dibangunkan sahur bagi siapa yang lebih dahulu bangun di jam tiga pagi.
Mata kuliah reproduksi ikan ini adalah yang terakhir untuk kita. Minggu depan akan ada ujian. Dan seperti biasa, anak-anak sibuk mencari bahan ujian atau contoh soal yang pernah dikeluarkan tahun lalu, termasuk aku. Sumber tempat aku mencari catatan adalah kosan XXXX. Dia orangnya rajin mencatat, hingga ucapan candaan dari dosen pun di cantumkan, itu hanya bercanda tentunya. Dan yang penting sekali, tulisannya sangat rapi.
Waktu berjalan lambat, tapi sampai juga kami di ujian yang benar-benar terakhir bagi kami karena semester depan habislah mata kuliah yang harus diambil, kecuali tentunya tidak bagi anak-anak yang mengulang karena dapat E atau D. Hawa panas menemani kami mengerjakan soal. Akhirnya ujianpun berakhir. Seperti biasa, aku keluar setelah dia keluar. Setelah kami mengumpulkan lembar jawaban dan keluar, dia bertanya “Gimana ujian kamu?” “Sangat mengesankan. Maksud aku sangat mengesankan hingga aku mengesankan jika aku harus menjawabnya dengan benar…ha..ha..” aku menjawab sekenanya saja. Semua soal adalah essay.
Di “penghujung” kami ngampus, kami harus mengambil skripsi. Kami terlalu sibuk untuk mengobrol dan juga sering stress. Tapi kami selalu saling menyemangati dan mengingatkan untuk semangat kembali kalau sudah “down”. Kami berharap dapat melewati masa-masa sulit ini dengan baik.
Daun-daun bermekaran, dan sangat gampang untuk mencari yang mekar dengan sempurnanya di musim semi ini. Kali ini tidak ada daun-daun kering yang aku injak, yang ada hanya tanah lembab yang baru disiram oleh dinas pertamanan. Telepon selular ku berdering saat melewati belokan terakhir di salah satu taman publik negeri kangguru, deringan pertama di musim ini. Aku memencet tombol dengan simbol telepon berwarna biru dan siap untuk menerima nomor dengan kode negara matahari terbit.
“Halo Za, sedang apa kamu? Baek aja kah? Proposalmu diterima belum?”
Sapaannya mengingatkanku pada seseorang yang selalu ku simpan rasa cinta dan tak pernah ku mengungkapkannya. Mungkin kini saatnya, batinku berasa.
“Hye, XXXX. Assalmkum. Aku baek. Kamu? Aku sedang mau mengambil proposalku yang sudah selesai di jilid. Akhirnya proposalku sudah ditandatangani dosenku, jadi tinggal jalan. Alhmdllh..”
“Oya XXXX, aku rindu kamu, maksudku bukan rindu biasa. Rindu dari seseorang yang menyimpan cinta mulai saat melihatmu menimbang berat kodok di laboratorium biologi…………” sambungku.
Kresek….kresek….kresek….
“Aku bae Za. Za maaf. Jaringanku sibuk. Lagi rusak…halloo..hallo…Za” XXXX menyela dan mengacak-acak selembar kertas plastik di meja kantornya dengan tangan tangan kirinya sambil didekatkannya ke telepon selularnya
“Maaf Za, aku g bisa lama-lama, jaringanku lagi sedikit rusak,cao…”
Tut….tut….tut….
Labels: CerpeN
Dan Semua Pergi
Aku melangkahkan kaki di antara rerumputan ilalang. Sinar matahari sore merayapi setiap lekukan kulitku. Sambil sesekali mencabut ilalang dan menggigitnya, aku terus berjalan ke tepi sungai yang kini tidak jauh lagi aku akan sampai. Aku berhenti lalu duduk dengan memanjangkan kedua kakiku ke depan dan kedua tanganku ke belakang sedikit tertekuk untuk menopang badanku di tepi sungai. Rambut ku sedikit berantakan karena angin.
Rumahku dan semua tetanggaku ada di sekitar 170 meter di belakangku dengan bentuk yang sederhana dan hampir seragam, tidak lupa dengan cerobong asap dari batu bata tanpa di cat. Kadang aku juga sering memanjat ke cerobong asap dengan tangga kayu dan duduk-duduk di tepi cerobong. Pernah ibuku membersihkan abu di dasarnya lalu wajahku menjadi hitam karena wajahku tepat di atas cerobong dan menghadap ke dasarnya. Saat itu aku ingin mengukur tinggi cerobong dengan menjatuhkan biji salak dan melakukan perhitungan stopwatch yang berjalan. Cara ini aku coba setelah aku membaca rumus kecepatan di buku SMP ku saat tadi pagi ku membereskan buku-buku lamaku yang sudah ber ‘’kalung’’ jaring laba-laba.
Tiap jam lima sore, aku selalu naik ke cerobong asap atau ke tempat saat ini aku duduk. Aku suka untuk menikmati cahaya matahari yang tenggelam, seperti sebuah ritual yang wajib untukku sebelum aku mandi sore dan menyantap kudapan malamku. Ku selalu tertarik pada cahayanya yang terdispersikan pada air sungai yang jernih. Senang juga aku mendengarkan percikan air yang terbentur batu-batu kecil dan akan mendapat tambahan romantis bila ada XXXX di sini temani aku.
XXXX sering menemani aku hanya untuk sekedar duduk dengan sikap tubuh yang sama dengan aku, tentunya sedikit di paksakan karena dia perempuan. Kadang juga dia temani saat aku sedang membaca buku yang setebal kamus, sebuah novel. Aku dan dia juga terbiasa mengobrol tentang apa saja seperti anak kucing yang mati terlindas motor tadi siang lalu berdebat apakah sebenarnya kucing umumnya mempunyai sembilan nyawa sungguhan dari kecil atau nyawanya bertambah sejalan dengan bertambah umurnya dan akan tetap pada nyawa yang kesembilan hingga mati, atau sembilan nyawa adalah jumlah yang dapat terhitung oleh orang-orang, padahal nyawanya lebih dari sembilan, atau bahkan sebenarnya hanya punya satu nyawa. Atau juga pernah tentang perhitungan rancob yang selalu ku terhenti saat masuk ke pembacaan notasi atau sidik ragam karena sungguh aku tidak tahu rumus apa yang harus digunakan atau iseng juga menebak awan yang terbentuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku biasanya dapat melihat pantulan cahaya matahari langsung dari matanya yang berpupil hitam kecokelatan saat dia marah karena pendapatnya selalu ku sudutkan.
Ha..ha..ha..membuat dia kesal adalah hal yang ku sukai, maksudku tidak benar-benar mengesalkan dia, hanya untuk bercanda.
Tapi hari ini sama sejak tiga minggu lalu tepatnya. Walau rumah kami hanya selisih satu blok, aku tidak mendapati dirinya di sini menghampiri, menyusulku, atau menjemputku, karena rumahnya lebih jauh dari aku jika harus ke sungai ini. Sudah tiga minggu juga aku tidak bertegur sapa dengan XXXX. Hal yang berat dengan pertimbangan kami sudah lama berteman dan satu jurusan di kampus kota kami dan aku pun juga menyimpan rasa cinta.
Ya, akhir-akhir ini kami ada masalah. Mungkin sebagai ‘’pemantiknya” adalah tugas akhir kami berdua yang membuat kami lelah dan ketika harus bertemu yang ada hanya bentakan halus dan kecil tapi dapat menyinggung perasaan kami berdua. Dan hal ini makin tidak mudah bagiku saat besoknya dia tiba-tiba mengirimkan pesan singkat ke telepon selularku yang intinya dia menganggap bahwa dirinya bukan yang terbaik untuk aku dan hidupku serta menyemangati aku agar tetap optimis bahwa suatu hari aku akan mendapatkan yang lebih baik untukku.
Ya, kami memang tidak pernah jadian. Akupun malu hanya untuk berbicara, hanya tersirat dari perbuatan-perbuatanku yang selalu ‘’menomorsatukan” dia dan mengkhususkan dia. Aku selalu memilih diam dan lebih menyiratkan dengan perbuatan-perbuatanku seperti itu, karena saat ini itulah hal yang aman. Aku bahkan tidak tahu saat itu dia juga mempunyai rasa yang sama atau tidak denganku mengenai cinta. Memang ada beberapa kali dia memberikan aku ‘’kasus-kasus harapan” sehingga aku lebih memperbesar harapanku. Dan hal itu makin membuatku sulit untuk melewati hari-hariku beberapa bulan sebelum aku bisa “menyanyikan” lagu yang baru di hidupku sekarang ini.
Ya, aku sudah terbiasa berjalan tanpa bayang-bayang dia serta mendapatkan bahwa sifat maupun prinsip kami sangat jauh bertolak belakang. Akhirnya kami pun dapat berteman seperti biasa tanpa aku yang terbebani saat harus menyembunyikan rasa cinta seperti dulu.
YYYY, gadis yang baru aku kenal, membawakan pesanan lime squash yang aku pesan dan roti bakar pesanannya. Kami baru saja pulang dari pertandingan renang di kampus YYYY. Dia sering memperlihatkan ketertarikannya pada ku. Tapi kali ini aku belajar untuk tidak mau salah melangkah dengan menaruh harapan yang terlalu cepat untuk rasa kali ini. Dan aku benar-benar jadian dengan YYYY pada empat bulan kemudian. aku pun sedang mendapati dia berjalan ke arahku sambil memberikan senyum indah terbaiknya saat ku melempar topi wisuda ku ke sembarang arah. Memang benar kita sering kali bertemu orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang benar-benar tepat untuk kita.
Untuk yang pernah ada di hidupku, XXXX, makasih untuk semuanya.
Dan untuk YYYY, aku harap kamu benar-benar ada dan aku yakin itu.
Labels: CerpeN
Night Angel
Bayang mentari memanjang, sajak senjapun meriah.
Kicau burung berganti sendu,
menyambut angin malam untuk merasuk.
Daun kering berbisik pelan menyebut namamu,
tapi tetap saja berisik bagiku.
Senja merah merekah,
di bibir muaranya ku akan menguap.
Malam terus menghadirkan bayangmu, untukku, walau ku bilang tidak.
Malam menari dengan kesepian, kesunyian, dan kerinduan.
Mereka tidak mengajakku, tidak pula menyuguhkan ku kehangatan.
Ribuan orang memasuki kota roma saat ini,
tapi ku hanya ingin bersandar peluk denganmu.
menatap bintang yang ditata,
menuliskan nama kita di sudut bangunan gothic,
merebut rangkaian bunga dari sang pengantin.
Lalu dekap aku lebih erat saat rindu mengetuk.
Hingga kuterlelap
ku takkan menyesali.
Hingga ku tak terbangun
kan kubawa cinta ini slamanya.
Labels: PoemZ
1 Purnama
Ketika satu purnama tiba,
ku letakkan kembali hatiku jauh di sudut.
Entah terangkai jejaring laba-laba atau ada debu yang menutupinya.
Ketika satu pagi menyapa,
Sayap-sayapku masih basah, teraliri embun.
Entah ku dapati diriku terbang atau tertatih lelah.
Berjalan di hening malam,
membuatku selalu ingin memecahkan dinginnya.
Berlari sendiri dalam bayang hitam,
membuatku ingin selalu terbang ke dalam kabut untuk rebahkan sayapku yang lelah.
Pergi ke batas dunia, membuat sayapku patah,
hanya karena ku ingin meneriakkan semuanya.
Buatku dingin, Buatku damai.
Ketika satu purnama, ku akan selimuti malam, hingga ku bertemu dengan dewi malamku..
Serentak ku teriak, inginku mengajaknya melihat jajaran bintang utara yang di tata..
Labels: PoemZ
Pure Dew
Termakan waktu, aku terus berlari.
Berlari hingga temu asa yang hampa.
Waktu mengekang jamahanku.
Demi saduran detik yang terangkum,
ku hanya ingin bersandar peluk denganmu.
Tinggalkan waktu yang menjauh, pertahankan detik itu.
Sang embun belum lagi terbentuk, hati ini layu menunggu matahari.
Embun lambat aliri lekuk ranting, diri ini temukan sayapnya kering.
Labels: PoemZ

